Hellboy 2019
Untuk kali pertama dalam empat minggu, pemuncak Box Office domestik berhasil mempertahankan takhtanya. Setelah menjadi jawara pada minggu lalu, Shazam! masih enggak tergoyahkan sebagai film nomor satu di Amerika Utara.
Walau mendapatkan persaingan cukup ketat dari Hellboy yang baru rilis minggu lalu, film besutan David F. Sandberg (Annabelle: Creation) ini mampu meraup 25,1 juta dolar Amerika Serikat pada minggu kedua penayangan. Angka ini turun sekitar 53% dari raihan minggu lalu. untuk pangsa lokal, Shazam! sudah mengumpulkan pundi sebesar 95 juta dolar Amerika.
Enggak cuma bersinar di pasar domestik, Shazam! juga kembali berhasil menduduki peringkat pertama di pasar internasional. Enggak kurang dari 35,9 juta dolar Amerika sukses dikumpulkan oleh film keluaran Warner Bros. Pictures ini. Total, Shazam! sudah meraih 258,8 juta dolar Amerika dari seluruh dunia.
Film keluaran Universal Pictures, Little, sukses menjadi runner-up dengan torehan sebesar 15,5 juta dolar Amerika di minggu debutnya. Dengan bujet 20 juta dolar Amerika, film yang dibesut oleh Tina Gordon ini baru meraih 17,4 juta dolar Amerika, setelah ditambahkan pendapatan dari pasar internasional sebesar 1,9 juta dolar Amerika.
Posisi berikutnya dihuni oleh Hellboy, film remake dari karya Guillermo del Toro yang rilis pada 2004 lalu ini gagal memenuhi ekspektasi. Setelah didera kritik negatif dan kekecewaan dari penggemar, Hellboy hanya mampu meraup 12 juta dolar Amerika pada pasar domestik.
Begitu pun di pasar internasional, Hellboy tampil ‘melempel’ dengan torehan sebesar 10,1 juta dolar Amerika. Angka ini sangat jauh di bawah ekspektasi Lionsgate.
Dilaporkan oleh The Wrap, proses produksi film besutan Neil Marshall ini sempat dilanda konflik antara sang sutradara dengan Lawrence Gordon dan Lloyd Levin, yang menjadi produser. Di Indonesia, Hellboy juga menjadi sorotan. Bukan karena menyajikan aksi memukau, tapi karena banyaknya sensor mengganggu yang mengurangi kenyamanan dalam menonton
Terkait film Hellboy (2019) yang sedang diputar di bioskop, tidak sedikit yang menyalahkan Lembaga Sensor Film (LSF). Sensor materi penayangan di layar kecil dan layar lebar memang termasuk wewenang LSF. Namun, sejauh mana sebenarnya hak dan kekuasaan LSF untuk menindak?
KINCIR berkesempatan untuk ngobrol bareng dengan Ketua LSF, Ahmad Yani Basuki. Ya, nama ini biasa kalian lihat di layar bioskop sebelum film dimulai. Biasanya, nama dan tanda tangannya muncul sekaligus sebagai “lisensi” bahwa film tersebut telah lulus sensor.
Tidak hanya membahas seputar kasus sensor Hellboy yang mengundang perbincangan di kalangan pencinta film di media sosial. Obrolan ini juga membahas peran LSF sesungguhnya yang sering kali disalahpahami. Yuk, simak!
Mengawali undang-undang yang baru, Nomor 33/2009 tentang Perfilman, LSF melaksanakan penyensoran berdasarkan pedoman dan kriteria penyensoran film. Setiap film, sinetron, dan iklan film yang akan diedarkan atau dipertunjukkan kepada khalayak wajib disensor terlebih dahulu oleh LSF.
Kalau kalian menyangka LSF yang memotong film, rasanya kurang tepat. Begini alurnya, pemilik mendaftarkan filmnya ke LSF. Lalu, film diteliti, dinilai, ditentukan kelayakannya, dan dilabeli dengan surat tanda lulus sensor (STLS) atau tidak lulus sensor.
Jika tidak lulus, film dikembalikan kepada pemilik untuk diperbaiki. Jika sudah diperbaiki, film dapat diajukan lagi untuk diteliti dan dinilai kembali oleh LSF. Satu hal yang perlu kalian tahu, LSF hanya memberi catatan revisi, bukan memotongnya. Jika terjadi perbedaan pendapat di antara kelompok penyensor, film diteruskan ke sidang pleno untuk mendapatkan keputusan.
Sesuai dengan amanat UU Perfilman 2009, LSF juga membuka ruang konsultasi prasensor bagi kreator yang ingin mendiskusikan filmnya untuk meminimalisir catatan sensor. Menariknya lagi, konsultasi tidak dikenakan biaya apa pun, loh. Sebagai informasi, film dalam dan luar negeri yang bisa didaftarkan di LSF harus sudah terdaftar di Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Pusbang Kemendikbud).
LSF dalam menyensor film itu sesuai teks dan konteksnya. Pertimbangan seperti judul, tema, dan teks dialog, juga diperhatikan. Di balik itu semua, ada yang penting dilihat, yaitu akhir cerita. Jadi, enggak bisa disamaratakan.
Kriteria penyensoran terhadap isi film dikaitkan dengan usia penonton, meliputi adegan visual dan dialog yang layak atau tidak layak dipertontonkan. LSF juga bisa menarik film yang udah lulus sensor, jika materi film menimbulkan gangguan terhadap keamanan, ketertiban, ketentraman atau keselarasan hidup masyarakat.
“Materi film tidak boleh mempromosikan pornografi, obat-obat terlarang, pelanggaran hukum, dan ketegangan SARA. Ukurannya seperti apa, kami lihat lagi kategori umur yang ditujukan film ini,” tambah lelaki yang pernah menjabat sebagai Komandan Satuan Tugas Penerangan Komando Operasi TNI ini.
Sebagai contoh, ada film drama remaja yang diajukan lolos 13+, tapi di dalamnya ada adegan tawuran atau pornografi. Bisa saja film itu diloloskan, tapi klasifikasi usia dinaikkan, misalnya jadi 17+ atau 21+. Dengan catatan, ending cerita memberi makna bahwa perbuatan kekerasan atau pornografi ada ganjarannya.
Lain halnya jika sebuah film menampilkan adegan perempuan dengan pakaian renang. Kalau konteksnya adegan itu dilakukan di kolam renang, sah-sah saja. Kalau di mal atau kamar tidur, rasanya sudah melanggar kesopanan. Begitu juga, misalnya ada lelaki memakai koteka. Kalau konteksnya dia adalah penduduk Papua, itu juga sah-sah saja. Namun, kembali lagi pada konteks cerita.
Dilihat dari data yang dikeluarkan LSF, film Hellboy lulus dengan klasifikasi usia 17+ dengan durasi 118 menit, hanya beda 2 menit dari situs film internasional. Menurut Ketua LSF, film Hellboy awalnya lulus dengan klasifikasi usia 21+. Namun, pemilik film, PT Prima Cinema Multimedia, menginginkan film ini lolos dengan kategori usia 17+, seperti yang terlihat di situs-situs film internasional.
“Saya dengar, banyak orang tidak nyaman dengan pemotongannya. Secara teknis, itu sudah di luar LSF. Kami kembalikan lagi ke pemilik filmnya, diharapkan mereka mengelola setelah merevisi agar tidak mengurangi kenikmatan menonton filmnya,” ungkap Ahmad Yani Basuki.
Mekanisme menurunkan klasifikasi usia itu ada. Hal ini bisa direvisi melalui pengurangan adegan-adegan sehingga bisa ditonton untuk usia 17 tahun ke atas. Di sinilah LSF berperan dalam memberi catatan adegan menit ke sekian untuk direvisi. Kemudian, LSF menyerahkan kembali ke pemilik film untuk merevisi dan mengelola kembali film itu.
Mengacu pada aturan PP Nomor 18/2014, menurunkan rating usia lebih diperhatikan soal kematangan film, tentunya harus sesuai standar tiap negara. Standar rating usia 17+ di Amerika, tentu berbeda dengan di Indonesia. LSF enggak buta dalam memberi catatan sensor. Mereka melihat lagi kepentingan adegan tersebut.
Dalam kasus sensor Hellboy, LSF telah meninjau bahwa film tersebut ditujukan untuk penonton 21 tahun ke atas. Alhasil, dilakukan proses diskusi di antara pemilik film dan LSF sampai membuahkan film Hellboy yang tayang sekarang.
Setiap klasifikasi usia punya standarnya masing-masing. Film, sinetron, iklan di TV atau pun bioskop punya dampak besar. Kalau ditonton oleh yang bukan usianya, dampaknya bisa berkepanjangan. Tentu, akan merugikan kalau dampak tersebut negatif.
Di Indonesia, kesadaran penonton untuk memilah tontonan jadi persoalan. Ya, kalian pasti pernah melihat ada anak kecil yang menonton film 17+ di bioskop atau nonton sinetron yang tidak sesuai dengan usianya. Kalau sudah begitu, siapa yang harusnya disalahkan?
Ketua LSF mengaku sudah mengimbau pihak bioskop dalam memperingatkan penonton untuk memilih film sesuai usianya. Sayangnya, masih banyak orang mengabaikan kategori usia tersebut. Tidak hanya dari penonton yang terlalu cuek, tapi juga petugas yang tidak bisa tegas. Mungkin kalian pernah melihat anak-anak di dalam ruang bioskop ketika sedang menonton sebuah film horor berlaber 17+.
Begitu juga soal sinetron di layar kaca. Banyak orang mengeluhkan penayangan sinetron yang dinilai enggak mendidik dan malah menampilkan dialog serta adegan berunsur kekerasan. Padahal, sinetron yang tayang pun sudah lolos sensor sesuai klasifikasi usia yang diajukan.
Apabila ada seorang anak meniru perbuatan buruk dalam sebuah film, lantas kita langsung menyalahkan LSF? Mungkin hal ini bisa jadi evaluasi LSF. Namun, semua kembali lagi pada peran keluarga yang diharapkan bisa memilah tontonan untuk anak-anak.
***
Dalam kasus sensor Hellboy,
rasanya kita enggak perlu buru-buru menyalahkan LSF soal pemotongan
durasi. Persoalan soal klasifikasi usia diturunkan biar banyak yang
nonton, tapi sensornya malah mengganggu. Pilihannya, kita bisa pilih
nonton cepat tapi kena sensor atau nunggu versi Blu-ray dirilis. Atau,
buat yang punya harta berlebih dan ingin menuntaskan rasa penasaran dua
menitnya, mungkin kalian bisa nonton di negara tetangga yang sensornya
enggak seketat Indonesia.Harus diakui, plot di Hellboy memiliki potensi yang enggak terbatas. Sayangnya, hal ini enggak dimanfaatkan dengan baik oleh Neil Marshall sebagai sutradara dan di naskah buatan Andrew Crosby (Eureka).
Kalian akan disuguhi sedikit adegan kilas balik di babak awal film. Nimue (Milla Jovovich), seorang penyihir bengis yang hidup di zaman kerajaan Inggris, dieksekusi oleh Raja Arthur (Mark Stanley). Enggak bisa dibunuh, Raja Arthur memutuskan untuk memisahkan bagian tubuh Nimue dan disembunyikan ke pelbagai pelosok dunia.
Cerita berlanjut dengan mengisahkan perjalanan seorang manusia setengah iblis berjuluk Anung Un Rama. Dipanggil ke Planet Bumi untuk membantu pasukan Nazi memenangkan perang dunia kedua, Hellboy akhirnya diadopsi oleh Professor Broom (Ian McShane), petinggi di B.P.R.D (Buerau for Paranormal Research and Defence) dan diajarkan menjadi pelindung manusia.
Ketika sedang menyelidiki hilangnya seorang agen B.P.R.D, Hellboy menyadari bahwa ada kekuatan jahat yang hendak dibangkitkan, yaitu Nimue. Sang protagonis akhirnya harus berperang dengan dirinya sendiri setelah menyadari takdir yang udah tertulis.
Plot di film satu ini sebenarnya memiliki banyak potensi yang bisa digali. Didukung akting prima David Harbour sebagai Hellboy, film keluaran Lionsgate Films ini (harusnya) bisa tampil memukau. Sangat disayangkan, kalian akan dibuat bingung dengan alur cerita yang terlalu cepat.
Banyak adegan yang harusnya bisa lebih digali, namun akhirnya terlewatkan. Semuanya hanya seperti menjadi selipan yang terlupakan.
Sosok Hellboy yang ikonis, seakan enggak mampu membantu film ini untuk tampil memesona. Karakter lain di sekitar Hellboy tidak sanggup memberikan penampilan yang bisa membuat penonton terkesima.
Sangat disayangkan, cerita yang terbangun selama dua jam di film ini harus diakhiri dengan ending antiklimaks. Ketika sang protagonis dihadapkan dengan villain utama, Neil Marshall memilih untuk mengambil konklusi yang tak terduga, namun gagal memesona, jauh dari harapan penonton.
Layaknya film terdahulu, Hellboy menjanjikan tontonan sarat aksi yang memancing adrenalin. Untuk hal ini, Neil Marshall enggak tampil mengecewakan. Namun sayang, adegan seru di film satu ini enggak luput dari sensor mengganggu LSF.
Dari dua jam yang tersaji, ada sekitar lima menit yang hilang terkena sensor. Penuh dengan brutal seperti pemenggalan kepala, tubuh yang tertusuk tiang, sampai berbagai adegan bermandikan darah lainnya, Hellboy mendapatkan rating 17+ dari LSF.
Enggak bisa dimungkiri, sensor ini terasa cukup mengganggu. Ketika pertarungan sengit berlangsung, kalian enggak akan disuguhi momen klimaks dengan jelas. Padahal, ini adalah momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh penggemar.
Pada film ini, Neil Marshall berusaha untuk memasukkan unsur laga, komedi, dan horor. Hal ini memang berhasil dihadirkan oleh Guillermo del Toro pada film terdahulu, namun enggak sukses diikuti oleh Marshall di proyek reboot ini.
David Harbour tampil brilian dengan dialog menarik dan celetukan yang memanjakan penonton, namun secara keseluruhan, cerita di Hellboy enggak mampu memuaskan penonton. Benang merah yang harusnya menjaga alur cerita, seakan enggak terlihat di film ini.
Aksi brutal memang terpampang jelas di film ini. walau pun dipadukan dengan efek visual yang ciamik, semuanya terasa hampa dan enggak berhasil memberikan kesan yang dahsyat ke penonton. Ditambah dengan sensor pada adegan brutal, kalian akan merasa sedikit terganggu.
Jika kalian ingin menyaksikan sepak terjang bengis Hellboy tanpa sensor, kalian bisa nonton film ini di IMAX.
Menjadi film reboot dari karya Guillermo del Toro rilisan 2004 lalu, Hellboy (2019) menghadirkan aksi seru dari sosok setengah iblis dalam menghadapi ancaman terhadap kehidupan umat manusia. Disutradarai oleh Neil Marshall (Westworld, Constantine), Hellboy sempat diragukan bisa meraih kesuksesan. Pasalnya, Guillermo del Toro sama sekali enggak terlibat di film ini.
Dari trailer yang sudah rilis, David Harbour tampil memukau dalam memerankan sosok Hellboy. Terlihat bengis sekaligus konyol, film aksi fantasi satu ini menjanjikan hiburan yang enggak terlupakan. Namun, apakah Hellboy mampu menandingi keberhasilan dari film terdahulu?
Download
.
0 Response to "Hellboy 2019"
Post a Comment